Dongeng Dari Penghuni Telaga

Photo by Engin Akyurt on Pexels.com

                Aku yakin sudah berjalan cukup jauh, meski cuma lereng gunung tapi medannya lumayan menanjak. Mungkin karena ini aku tak sampai-sampai juga ke puncak seolah mengejar bulan. Setelah menarik nafas panjang, aku iseng berbelok ke jalan setapak lain. Kupikir tak apa kalau jalan-jalan sebentar melihat pemandangan sekitar. Mau sampainya malam pun tetap tak ada bedanya bagiku. Jalanannya agak curam tapi masih bisa kuatasi, dengan sedikit usaha dan rasa penasaran yang kuat, tiba lah aku di sebuah telaga hijau yang menghampar luas seperti danau. Aku tertegun sesaat melihat keindahan ini.

                Angin dari utara berhembus menerbangkan daun-daun kering dari sebuah pohon besar pinggir telaga dengan begitu syahdu. Hawa-hawanya menggalaukan, kunikmati saja sejenak sebelum kuhampiri pohon itu. Pohon yang sebelumnya tak kusadari kehadirannya ini memiliki akar-akar yang besar di pokoknya seperti ular besar. Cabang-cabangnya kokoh bersusun hingga bisa kujangkau, cukup untuk berteduh dari sinar matahari. Sepertinya aku tidak perlu mencapai puncak, di sini saja sudah cukup.

                Kubuka ranselku, mengambil semua peralatan yang kubutuhkan. Tidak sulit memanjat dan memasang tali yang kokoh dengan kusimpul-simpul sebagaimana yang pernah dipelajari di sekolah. Tak kusangka akan sangat bermanfaat di situasi begini. Kuganti pakaian luarku dengan yang lebih rapi sembari kusisir rambutku. Sebelum kupasang ujung tali yang melingkar di leherku, kupandangi surat yang sudah kusiapkan, membaca isinya sebentar dan memasukannya ke saku kemejaku. Aku menarik nafas.

                “Hentikan!” sebuah suara mengagetkan serta menghentikanku sejenak.

                Kucari sumber suara itu, agak mustahil jika ada orang sejak pertama kuperhatikan tempat ini. Kutengok kanan kiri mencari sosok pemilih suara itu.

                “Di sini bukan tempat yang tepat untuk bunuh diri,” suara itu kembali bergema seolah ada di dalam kepalaku.

                Namun aku masih bersikeras mencari sumbernya. Kudongakan kepala ke atas, sesaat kulihat dedaunannya yang rimbun bergoyang kasar seperti ada sesuatu yang bergerak. Kulepaskan tali melingkar di leherku dan kucoba berdiri melihat memastikan.

                “Jika kamu mati di sini, jiwamu akan terjebak di tempat ini selamanya,”

                Aku menoleh, kudapatkan juga sosok yang berbicara itu. Ia muncul dari sisi lain pohon besar ini, anak yang mungkin seumuran denganku.

                “Siapa kamu?” tanyaku.

                “Sebaiknya kamu pulang sebelum gelap,” ujarnya, suaranya lembut namun aku bisa menangkap ucapannya dengan jelas. “Atau kalau masih bersikeras dengan tujuan awalmu, lakukanlah di puncak sana. Jika kamu tak bisa mencapainya sebelum matahari terbenam, kamu akan tersesat di antara dua dunia.”

                Semua yang dia ucapkan jelas bukan pilihan yang menguntungkan buatku. Aku pun meloncat dari dahan besar dan kini berdiri di hadapannya. Rambutnya terlihat kering tak terawat meski agak lepek dan pakaiannya kusam. Aku tak sanggup menatap matanya yang kosong lebih dari 10 detik, bibirnya pucat dan agak pecah-pecah. Aku tidak yakin apakah dia manusia.

                “Maaf jika itu mengganggumu, mungkin sebaiknya aku terus ke puncak,” ujarku lalu mengambil ranselku dan meninggalkan sosok ini, beserta taliku yang masih menggantung di pohon itu. Kurasa aku bisa loncat dari jurang saja sebagai rencana B.

                “Namaku Yudha,” ujarnya yang membuatku berhenti sejenak.

                “Raihan,” jawabku tanpa menoleh.

                “Hmmm, kamu bisa istirahat sejenak di bawah pohon ini. Aku tahu kamu sudah menempuh perjalanan yang sulit hingga sampai sini,” kata Yudha. “Percayalah, semilir angin di sini sangat menyenangkan.”

                “Tadi bukannya kamu menyuruhku untuk pulang saja? Atau pergi ke puncak sebelum gelap,” kataku sembari menoleh ke samping tanpa beradu pandangan dengannya.

                “Benar juga sih! Tapi sudah lama aku tidak kedatangan tamu manusia,” ujar Yudha lalu berjalan mendekat ke arahku, terdengar jelas suara langkahnya bercampur dengan suara becek seperti berjalan di lumpur. “Kamu bisa melanjutkan perjalanan ke puncak sekarang, atau pulang tepat waktu dengan jalan pintas yang akan kuberitahu padamu jika kamu mau singgah di sini sedikit lagi.”

                “A..apa kamu manusia?” tanyaku yang sadar betul kini dia berdiri di belakangku.

                “Kuharap sih masih,” jawabnya.

                “Apa yang kamu mau denganku singgah jadi tamumu?” tanyaku yang mulai memikirkan segala kemungkinan terburuk. Pada akhirnya memang aku akan mati juga tapi bukan kematian begini yang aku inginkan. Nanti pesan yang kutulis susah payah di surat ini tak jadi tersampaikan kepada dunia.

                Tangannya yang pucat bergerak mengambil surat di saku depan kemejaku. Pesanku untuk dunia, tubuhku mendadak kaku untuk menghentikannya. Aku bahkan terlalu takut untuk merutuki ketidakberdayanku. Aku yakin Yudha sedang membaca surat itu dan mungkin akan menertawakanku dengan tawa yang mengerikan.

                “Bagaimana kalau kita duduk di sana dan kamu mendengarkan ceritaku?” kata Yudha lalu memasukan surat itu kembali.

                “Hah?” ujarku tanpa sadar menoleh ke arah Yudha yang tampak terlalu pucat untuk dianggap manusia normal.

Matanya yang tadi kupikir sorotnya kosong kini memutih. Lututku lemas namun entah kena sihir apa, aku menurut saja ikut Yudha ke tempat yang ia tunjuk. Tali yang tadi kugantung disulap jadi ayunan yang terbalut akar yang berlumut tapi terlihat kuat. Dan dari sebelahnya perlahan meluncur turun satu lagi ayunan akar. Aku langsung memilih duduk di ayunan dari taliku. Sembari beradu main ayun-ayunan, Yudha pun bercerita dengan sudut pandang orang kedua.

                Kau adalah seseorang yang terlahir di keluarga berkecukupan dengan limpahan kasih sayang, kau punya masa depan yang bersinar namun malah menyia-nyiakannya. Hingga akhirnya ayahmu mengirim ke sekolah yang jauh agar kau belajar mandiri. Kau tak bisa lari lagi ataupun seenaknya. Namun memang kau bukan dasarnya anak rajin seperti waktu SD, tentu itu jadi masa-masa sulit. Kau sudah terlalu banyak kehilangan kesempatan, sekali saja gagal di tahap ini maka kau akan kehilangan segalanya.

                Lalu kau berkenalan dengan seorang kakak kelas ini. Orang yang awalnya tidak suka melihat kebegajulanmu namun akhirnya bersimpatik dengan tekadmu untuk jadi lebih baik. Dia membantumu semaksimal mungkin, menjadi penyemangat dan pembimbingmu yang gigih. Seperti takdir, kau bertemu dengannya semeja saat ujian, dan dia menolongmu menyelesaikan jawaban soal dari matpel penting yang tak kau pahami di detik terakhir. Kau anggapnya dewi penyelamat dengan sayap-sayap yang bersinar bak bidadari.

                Seiring berjalannya waktu, kau semakin dekat dan mulai menyukainya. Sepertinya dia pun begitu. Benih-benih cinta dua insan belia yang sedang mencari jati diri. Di satu sisi, semakin jauh kau mengenalnya, semakin terungkap masa lalunya yang menyedihkan. Dia terlahir tanpa ayah dengan ibu yang juga pergi meninggalkannya sejak kecil, dia diasuh setengah hati oleh keluarga ibunya karena kebencian mereka terhadap ayahnya yang entah di mana. Dia harus berjuang menghadapi perundungan, menjadi lebih kuat, dan diakui. Kau pasti sadar, diam-diam dia iri dengan kehidupanmu yang terlalu kontras dengan nasibnya. Dia tanpa sadar sering menasihatimu agar tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada karena takdir yang kejam bisa saja membalik keadaan seseorang.

                Rupanya takdir yang kejam itu sudah lama membidikmu, hingga kemudian terungkap sebuah fakta bahwa orang yang kau cintai selama ini adalah saudara seayahmu. Anak di luar pernikahan yang menjadi rahasia kelam ayahmu. Saat kau dan dia mengetahui itu, rasanya seperti petir di siang bolong. Kau dapat merasakan dia marah, api dendam yang selama ini dia kubur seperti bangkit lagi lalu mencari pelampiasan. Dan dia berbalik membencimu, yang selama ini menikmati kasih sayang penuh dari ayah yang bahkan belum pernah dia lihat sejak lahir.

                Dia terbakar dalam api kebencian, dia lampiaskan dendamnya kepadamu. Perlahan dia merusakmu, menjerumuskanmu ke lembah hitam. Kau sadar betul bahwa apa yang dia lakukan adalah membuatmu hancur. Setelah itu dia meninggalkanmu begitu saja lalu kau justru mencarinya, bukan karena kau ingin menuntut balas tapi karena kau peduli dengannya. Kau yakin dia masih tetap orang baik hati yang pertama kali kau kenal waktu itu. Kau tak peduli dengan perbuatannya dan tetap membiarkan dia melakukan apapun yang dimau. Dia adalah cinta pertamamu. Persetan dengan ikatan sedarah itu, kau mencintainya dari hati yang terdalam.

                Namun takdir itu kadang terlalu kejam, dia seolah menghilang seolah tak pernah hadir di bumi ini. Dan kerusakan-kerusakan yang dia perbuat terhadap dirimu mulai membawa penderitaan. Perlahan kau sadar dengan cinta butamu yang mengontaminasi jiwamu namun juga tak semudah itu melepaskan perasaan yang mendarah daging. Pada akhirnya kau harus menanggung rasa sakit yang dua kali lipat. Saat kau sudah tak bisa menahannya lagi, kau memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Semua orang akan pergi, bunuh diri hanyalah pilihan untuk mempercepat waktunya saja. Kau tak sanggup hidup lebih lama lagi. Kau tidak akan sakit lagi.

                “Apakah itu kisahmu?” tanyaku.

                “Kamu bisa menganggapnya seperti itu,” kata Yudha lalu menghentikan ceritanya dan fokus berayun seperti anak kecil yang bahagianya sederhana.

                “Kisahku mungkin tak sekelam ceritamu, tapi rasanya terlalu berat untuk ditanggung lebih lama lagi,” ujarku.

                “Aku tahu,” sahut Yudha. “Isi surat yang kamu tulis menggambarkan segalanya.”

                “Kukira kamu akan menertawakannya.”

                “Kenapa aku harus tertawa?” sergah Yudha kemudian berayun terlalu tinggi. “Nasib orang lain bukan sesuatu untuk ditertawakan, lagipula belum tentu jika aku di posisimu aku akan sanggup bertahan sampai di titik sekarang.”

                “Iya, kau benar,” gumamku.

                “Apa kau punya cerita untukku?” tanya Yudha menoleh lurus ke arahku.

                Aku membalas pandangannya, kali ini aku sudah lebih terbiasa dengan penampilannya yang seperti orang tenggelam yang dua hari.

                “Aku tidak mau kisah sedih, ceritakan padaku cerita yang menyenangkan, atau gosip panas yang membuat jiwa ghibah meronta-ronta.”

                Aku cekikikan mendengar permintaannya. Kali ini gantian aku menceritakan tentang gossip of the year, seperti tentang orang-orang yang memanfaatkan momen duka untuk mendulang popularitas, atau selebriti anti kritik yang hobinya mencampuri urusan orang lain demi uang. Aku pun bercerita sedikit tentang aktor-aktris jaman sekarang yang banyakan menang good-looking atau tajir, hanya segelintir yang benar-benar berkualitas. Tak lupa kudongengkan soal keadilan yang kini hanya tinggal tulisan semboyan di sebuah negeri nun jauh di sana.

                “Menarik sekali ya,” gumam Yudha. “Pantas saja makin banyak orang yang pendek pikiran dan memilih mengakhiri hidupnya.”

                “Hahaha,” aku tertawa suram.

                “Terima kasih sudah mendengarkan,” kata Yudha. “Kadang orang yang dirundung beban hidup yang berat cuma perlu seseorang yang mau mendengarkannya.”

                “Iya, aku setuju sekali.”

                Yudha pun kembali berayun terlalu tinggi dan tak wajar untuk ukuran manusia bermain ayunan.

                “Kalau kamu mau pergi sekarang, aku persilakan. Aku sudah mendapatkan apa yang kumau,” ujar Yudha. “Kau akan tiba di puncak jika berangkat sekarang mengikuti pepohonan dan semak merah di sana terus saja menanjak ke atas. Jalannya mungkin agak sulit tapi kamu pasti bisa menembusnya.”

                Aku mengangguk, setelah melompat indah dari ayunan dan menyambar tas, kulangkahkan kaki dengan gagah menuju takdir yang tengah menantiku di atas. Namun, tak jauh melangkah, mendadak aku bimbang. Aku merasakan suatu kelegaan dalam hati yang menyejukan ibarat iklan minuman panas dalam. Kelegaan yang menetralisir hasrat menggebuku yang ingin kembali ke haribaan Illahi mendahului takdir. Kulambatkan langkahku sembari mempertimbangkan keputusanku lagi. Apakah sebaiknya kulanjutkan misi bunuh diri ini? Kelegaan seperti ini tak pernah bertahan lama, jika aku kembali ke kehidupanku yang menyedihkan maka akan datang seribu alasan untukku kembali pergi menuju puncak sana.

                “Hmmm, Apakah kamu bunuh diri di tempat ini?” tanyaku akhirnya berhenti dan balik badan ke arah Yudha yang tengah berayun. Aku menemukan satu alasan buatan untuk berhenti sebentar.

                “Tempat ini terkenal selalu meminta tumbal dari waktu ke waktu,” jawab Yudha lalu berhenti berayun gila. “Dan seharusnya waktu itu adalah giliranku tapi aku selamat. Telaga ini tenang selama beberapa lama, semua mengira kutukan itu sudah berakhir. Rupanya beberapa tahun kemudian seseorang lain terpilih menggantikan posisiku. Bak pahlawan kesiangan, aku bertukar tempat dengan orang itu. Kalau kamu mengatakan ini bunuh diri, kurasa tidak salah juga sih, aku malah kembali ke takdirku yang di awal.”

                Kisah itu terdengar miris, aku tak bisa membayangkan menjadi seorang Yudha. Dia pun lalu berayun tinggi dan melempar dirinya ke udara lalu mendarat dengan anggun tepat di hadapanku.

                “Kalau kamu pergi ke arah barat,” ucapnya sembari menunjuk arah. “Jalan berbatu yang banyak ilalang setinggi orang dewasa itu akan menuntunmu ke jalan setapak hutan menuju desa terdekat di bawah dalam setengah jam.”

                Aku menatapnya yang masih menoleh ke arahku, beradu pandangan sesaat. Aku merasa tersesat dalam kebimbangan memilih di antara dua pilihan.

                “Aku berharap kita masih akan bertemu lagi,” ucapnya. “Menyenangkan sekali dibacakan dongeng oleh orang hidup. Jadi ingat rasanya saat bersama kawan-kawanku.”

                Ucapannya itu jelas horor namun aku bisa merasakan kesedihan yang tersembunyi di dalamnya. Aku lalu mengulurkan tangan mengajaknya jabat tangan. Beberapa saat mematung, ia pun menyambut tanganku. Tangannya terasa dingin dan kaku, beberapa detik saja tak kulepas jabat tangan itu, bisa dipastikan aku akan jatuh pingsan menahan rasa parno.

                “Senang bisa bertemu denganmu, Yudha,” ujarku lalu melambaikan tangan sesaat dan pergi mengikuti arah matahari tanpa menoleh lagi ke arah pohon besar dan telaga itu.

Tinggalkan komentar