Resep Kue Cokelat Nenek

Aku ingat nenekku sangat baik, sering menyanyikanku tembang-tembang lawas dan memanggang kue. Yang paling aku ingat adalah kue cokelatnya yang lezat. Waktu itu temanku ulang tahun dan menghidangkan kue blackforest yang sangat enak. Aku menginginkan kue itu untuk kumakan sediri lagi nanti, namun orang tuaku bukan orang yang berkecukupan. Aku merajuk dan terus mengatakan “aku ingin kue cokelat, aku ingin kue cokelat”. Hingga kemudian nenek membuatkannya sendiri untukku.

Rumah ini, adalah rumah di mana aku dibesarkan. Di sini aku menghabiskan hampir setengah usiaku sebelum akhirnya merantau. Masih tetap sama, rumah dengan genteng merah dan cat putih yang pudar. Hanya ini yang tersisa. Setelah beres-beres sedikit barulah aku bisa duduk santai melepas lelah badan dan pikiran ini. Kalau orang bilang rumah nenek adalah tempat liburan paling asik, memang benar sih.

Beliau selalu memanggangkan satu kue cokelat hangat di setiap aku mengalami hari buruk. Kata nenek, Sebuah kue cokelat akan membuatmu melupakan hari burukmu. Saat aku berselisih dengan temanku, saat aku dimarahi ibu karena nilai ulangan yang buruk, saat kedua orang tuaku ribut, waktu aku gagal masuk SMA pilihan atau bahkan saat ayah dan ibu berpisah. Cita rasa cokelat dan tekstur lembutnya sukses membuatku teralih dari kesedihan yang sedang terjadi. Dan nenek di sampingku makan bersama dengan porsi lebih kecil kecil sambil tersenyum. Dan juga senyum terakhir nenek saat bersama ibu mengantarku berangkat perantauan.

                Sayang saking sibuknya dulu kerja di kota besar, aku sampai tak sempat menemani nenek hingga akhir hayatnya. Saat itu sedang ada audit penting. Setidaknya kata ibu, nenek pergi dengan senyuman. Itu menjadi penyesalan terbesarku hingga saat ini, mengalahkan kenyataan ibu nikah lagi dan ikut suaminya ke Kalimantan. Aku bekerja keras demi mewujudkan ambisiku, cibiran dan ejekan orang-orang kujadikan motivasi. Aku akan kaya raya sampai mereka mengira itu hasil pesugihan.

                Aku mendadak rindu makan kue cokelat. Perasaanku mengatakan untuk pergi menuju dapur yang berada di paling belakang rumah. Dapur rumahku agak lebar, di samping jadi ruang makan, ibu dan nenek sering berkreasi di sana. Aku terkejut meja makan hasil pesan ke pengrajin kayu di pinggir jalan besar itu masih di sana, dan juga oven besar jadul yang menyatu permanen dengan meja dapur. Kudengar rumah ini sempat disewakan, tapi beberapa bagian sepertinya tidak diubah saat renovasi. Ini membuatku sedikit penasaran, aku beralih ke celah dinding dapur yang nenek biasa menaruh kertas resepnya. Saat akan membuatkan kue, nenek akan mengambil kertas resep di celah dinding rahasia dan menunjukannya padaku seolah itu selembar peta harta karun wasiat. Sangat menyenangkan di mata anak kecil yang percaya peri itu ada.

                Beruntungnya aku, celah itu masih ada. Hanya saja tertutupi semacam triplek tebal yang sudah agak somplak. Aku yakin melihat siluet selembar kertas pudar terlipat dari celahnya. Aku pun menarik triplek itu, meski sudah lama rupanya masih agak keras, perlu sedikit usaha dan kemantapan hati. Krak! Suaranya ketika triplek itu sukses tercabut disertai goresan tajam serpihan kayu di jemariku.

                “Shit!” umpatku melihat guratan merah dari di jariku. Aku mencuci lukaku di westafel sebelum mengambil kertas wasiat itu.

                Mood-ku sedikit berantakan karena luka gores kecil ini, masih saja kesal karena hal sepele. Kuharap resep ini senilai dengan harga yang telah kubayar. Resep dengan tulisan huruf sambung itu menjabarkan bahan-bahan umum dan mudah didapatkan, salah satunya pasta cokelat yang jadi cemilan favorit dari masa ke masa. Aku tak percaya nenek bisa menyajikan kue cokelat lezat hanya dengan bahan seadanya. Padahal aku yang dulu pernah bermain di bisnis kuliner harus berkutat dengan kombinasi bumbu rempah agar mendapatkan rasa yang memuaskan. Bisnis kuliner kebanggaanku yang telah kubangun dari nol setelah di-PHK dari perusahaan yang telah membesarkan namaku. Aku mencurahkan seratus persenku padanya, dari jatuh bangunnya, mencari inovasi di tengah persaingan, kritikan pedas, orang-orang yang minta harga teman sampai ditipu kawan sendiri.

                Kuputuskan untuk membuat kue cokelat ini, sekalian bernostalgia. Kudaftar bahan dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk memanggang satu porsi kue cokelat. Setidaknya uangku masih cukup. Beruntung rumahku tak terlalu jauh dari pasar, aku cuma perlu jalan kaki saja. Mendadak aku merasakan semangat berjuang lagi. Setelah memboyong loyang panggangan, mangkuk cetak, dan beberapa peralatan lain, aku mampir ke toserba di perjalanan pulang untuk bahan-bahan kue.

                “Kamu yang anaknya ibu Lani kan?” seorang ibu-ibu paruh baya mengenaliku.

                “I..iya, bu!” sahutku canggung.

                “Apa kabar? Ya, ampun! Saya tahunya kamu ngerantau lama di kota besar ya?” kata ibu itu sok akrab. “Udah sukses nih kayaknya? Anak suami mana? Udah punya berapa anak sekarang?”

                “Hmm, itu,” jawabku ragu.

                “Dia belum nikah, bu,” bisik seorang temannya dari belakang dengan suara yang cukup jelas.

                “Oalah, keasyikan kerja ya! Perempuan kalau umur 25 belum nikah itu nanti susah dapet jodohnya lho!” sambung ibu itu. “Anak ibu aja umur 21 udah harus nikah, kebetulan dapat yang PNS sekarang udah enak hidupnya.”

                “Betul itu! cari calon suami harus liat-liat juga, sebagai perempuan kita harus pilih yang menjanjikan! Bukannya materialistis ya, tapi jaman sekarang butuh uang!” timpal teman si ibu itu.

                “Jodoh mah gampang bu-ibu, asal kita punya uang dulu,” sambar ibu-ibu lain tiba-tiba nimbrung. “Denger-dengar kamu punya usaha gitu katering ya?”

                “Iya, begitu lah, bu,” jawabku menahan jengah, begitu bayar aku langsung pamit pergi.

                Manusia itu senang sekali menggunjing dan membandingkan. Bahkan saat aku sudah berbalik ambil seribu langkah aku masih bisa mendengar mereka berbicara.

                “Katanya usaha kateringnya tutup, buk. Dampak pandemi! Makanya dia pulang ke sini,”

                “Kasian ya, mana udah nggak muda lagi kan?”

                Air mataku sudah kering mungkin, jadi aku hanya menelan gunjingan pahit itu seperti obat. Aku duduk menenangkan diri di sofa tua yang mungkin usianya lebih tua dariku. Kuambil cokelat batang yang kubeli di pasar dari bocil yang tetiba datang menawarkan. Dia anak yang hebat, harus dipaksa kerja oleh keadaan. Dari dulu cokelat selalu bisa jadi penawar gundahku. Ibu-ibu itu benar, bisnis kulinerku memang sudah tamat. Tidak cuma karena pandemi, tapi masalah internal. Karyawan kepercayaan yang sudah kuanggap saudari sendiri resign lalu membuat usaha katering. Aku berusaha memakluminya, kalau saja ia tidak menggunakan beberapa resep andalanku. Sudah begitu dia sudah kenal banyak langgananku juga mengajak beberapa karyawan lain untuk bergabung dengannya. Usahanya tumbuh begitu cepat. Rasanya seperti ditusuk dari belakang berkali-kali.

                Kurang baik apa aku sebagai bos? Sebagai teman seperjuangan? Aku memang bukan bos yang terbaik, tapi apakah ketidak sempurnaanku jadi alasannya untuk mengkhianatiku begini? Padahal ini bukan pengalaman pertamaku, masih saja aku tak tahan sakitnya. Sepertinya aku kurang belajar. Meski aku sudah berusaha keras membenahi kerajaan kecilku yang setengah runtuh, tapi kalau memang  takdirnya hancur maka akan tetap hancur. Tak ada yang tersisa kecuali rumah ini yang merupakan warisan dari ibuku. Kuharap kue cokelat ini dengan magic-nya bisa mengembalikan mood-ku seperti waktu aku kecil.

                Kuputuskan untuk membuat kuenya besok, aku perlu beres-beres lagi agar rumah ini lebih layak huni. Rumah ini sudah tiga bulan tak tersentuh, biasanya bu Riri teman nenek yang suka sekadar mengecek dan membersihkan sekadarnya tapi beliau sedang sakit. Entah, hutang budi apa beliau ke nenekku hingga dengan sukarela membantu memantau rumah ini. Beruntung sekali nenekku punya kawan yang baik.

                Kawan-kawan teman satu circle yang dulunya selalu mendendangkan “teman rasa keluarga” sekarang sudah entah ke mana. Kadang kita terlalu terlena dengan keindahan “persahabatan” itu sampai tanpa menyadari ada saja yang suka memanfaatkan orang lain, yang egois, yang begitu punya teman baru langsung pindah circle. Yang kenal bertahun-tahun saja belum tentu jadi sahabat selamanya. Mereka pada akhirnya akan pergi karena keadaan atau pilihan, bahkan orang itu. Bohong kalau aku bilang terlalu sibuk untuk jatuh cinta, tapi lebih tepatnya terlalu sibuk untuk hubungan yang serius.

                Namanya Wibi, dia pria yang sederhana dan baik. Diam-diam dia sering minder karena cuma kurir ekspedisi. Sifatnya yang ulet dan punya semangat juang tinggi adalah hal yang mengagumkan. Dia rela meninggalkan kuliahnya demi menghidupi keempat adiknya. Wibi selalu sabar denganku yang sering lupa membalas pesan-pesannya dan selalu menyimak saat aku menceritakan hari-hari burukku. Hal yang nyaris tak pernah kulakukan sebaliknya padanya. Saat aku sedang meniti karir gemilangku di sebuah perusahaan, ia mengatakan ingin melamarku.

                Sejujurnya aku benci mengingat kenangan itu, hanya membuatku sakit kepala. Setelah telur, terigu, oh, hampir lupa gula pasir! Aku tak bisa konsen. Bayangan itu muncul seolah aku ingin merasakan sakitnya lagi, seperti rekaman film yang diputar menemaniku saat mengaduk adonan kue. Momen itu terjadi di tempat makan favorit kami.

                “Ayo kita nikah!” ujar Wibi. “Orang tuaku nggak sabar mau ketemu kamu.”

                “Kalau kita nikah, kamu maunya aku di rumah aja kan?” tanyaku saat itu, yang kemudian dijawab dengan anggukan olehnya. “Aku nggak bisa, Bi. Kamu tahu kan betapa berartinya pekerjaan ini buatku?”

                Dia terdiam sesaat, pikirannya seolah terbang entah kemana. Wibi yang kukenal sabar kemudian berkata, “Aku bakalan dijodohin sama anak temen ayahku kalau aku belum juga ngebawa calon istri pilihanku.”

                “Kamu tahu kan kondisiku?” sahutku.

                “Aku tahu, makanya aku mau kita merundingkan ini dulu bersama-sama,” ujar dia.

                “Nggak ada yang bisa dirundingin, kita berdua nggak punya pilihan selain melepas apa yang kita perjuangkan selama ini,” tegasku.

                Wibi menghela nafas, ia terdiam cukup lama, begitu pula aku. Hingga setelah segurat tekad menyala di matanya ia berkata,”Maafkan aku.”

                Bau hangus yang semerbak sontak membangunkanku, aku langsung melompat ke panggangan dan mematikannya. Hampir saja kuangkat kuenya tanpa sarung tangan.

                “Shit! Shit! Shit!” umpatku panik melihat sebagian kue yang menghitam dari yang seharusnya. “Bego banget sih kamu!”

                Kudorong kue itu dan membanting tubuh di kursi. Aku merasa yakin sekali bahwa semesta sedang mengejekku. Baru kali ini aku sebegini jengkelnya pada diri sendiri, menyaingi gejolak bad-mood PMS-ku. Setelah tarik-hembus nafas, aku memutuskan setidaknya mencoba sesendok. Mungkin hitam ini pertanda rasa cokelat yang sempurna, rasanya tak akan seburuk itu. Atau tidak, rasanya pahit seperti hinaan.

Aku melempar kue itu beserta segala yang ada di hadapanku dengan satu sapuan. Aku mengumpat sejadi-jadinya. Ini menjadi puncak kemarahanku atas segalanya. Aku sungguh contoh kegagalan yang bahkan tidak bisa membuat kue cokelat yang sederhana. Rasanya ingin mati saja. Kupendam wajahku di meja makan, rasa lelah ini menohok hingga ke titik terdalam hatiku. Memejamkan mata sebentar sepertinya bukan ide buruk, tak ada kompor atau panggangan yang menyala. Aku bisa tidur sesaat dan melupakan masalah hidupku.

                Sendiri, selalu begitu pada akhirnya. Kalau dulu aku bisa lari ke ibu atau ke nenek, meski mereka tak sepenuhnya bisa mengertiku. Saat aku tak bisa bersama nenek di momen terakhirnya, atau berhenti berkomunikasi dengan ibu karena beliau lebih memilih suaminya. Mungkin tekadku untuk bisa jadi wanita independen terlalu egois. Beginikah cara Tuhan menegurku? Aku terbangun dengan pikiran kusut, entah berapa lama aku tertidur. Kutatap sesaat kue cokelat gagal yang masih berserakan di lantai. Setelah helaan nafas lelah, kubereskan kekacauan itu. Aku ingin coba sekali lagi.

                Kumulai lagi pelan-pelan, sembari menepis segala bayangan masa lalu yang mencoba menggangguku. Saat kumasukan adonan itu ke oven, aku duduk dan menunggu. Setelah memasang timer, kulihat-lihat galeri foto di ponselku. Banyak kenangan kuabadikan di sana. Sengaja tak kuhapus karena semua akan jadi cerita yang berharga suatu hari nanti. Dan benar saja. Timer-ku berbunyi, aku lekas memakai sarung tangan dan mengeluarkan kue panas itu. wanginya, harus mengingatkanku saat nenek dulu pura-pura menghidangkannya buru-buru dan bilang “panas, panas, pasti enak nih.”

                Aku sempat ragu saat memegang sendok, tapi sudah berusaha sejauh ini. Kucicipi setelah kutiup sedikit. Seharusnya rasanya akan sama, setidaknya. Dan ternyata sama, ini mirip dengan yang dibuat nenek. Manis pasta cokelat dengan tekstur lembut seperti bolu ini berhasil tapi sayang, tidak dengan magic-nya.

                “Terima kasih, nek,” gumamku saat menyantap suapan kedua.

Tinggalkan komentar