Lost

Mataku terbuka dengan terpaksa, nyaringnya dering ponselku memaksaku bangun dari tidur siang sejenak ini. Aku mengangkat dengan malas, hingga terdengar jelas sekali kalau aku baru bangun. Beberapa detik kemudian kantukku hilang dan kesadaranku meningkat 80%. Aku sampai mengelap air liur yang menggelayut di sekitar mulutku.

Hari rabu jam sepuluh pagi, undangan wawancara di menara White Ace daerah pusat. Aku tak sangka akan dipanggil di perusahaan sekeren ini. Kali ini tak boleh gagal! Kulihat kamar kosku yang berantakan karena dokumen-dokumen lamaran kerjaku yang berhamburan. Dari puluhan surat yang kukirim baru tiga yang memanggilku. Dan ini jadi yang ke-empat.

Pada hari H aku berangkat kepagian saking semangatnya. Aku memutuskan cari sarapan dulu. Rute dari area parkir motor ke jalanan utama lumayan ruwet. Aku sampai diteriaki pak satpam yang bertugas saat salah belok. Seharusnya tak perlu sampai segitunya tapi sudahlah lupakan. Dari situ aku baru tahu menara White Ace itu ada dua bangunan. Tadi sepertinya aku berjalan ke arah gedung lama.

Banyak yang bilang sarapan pagi penting untuk mendukung aktivitas sepanjang hari. Aku cukup termotivasi dengan kalimat itu. Kupikir wawancara kali ini aku akan sukses mengesankan orang HRD-nya. Reaksinya biasa saja, apalagi yang kelihatan lebih pintar dan berpengalaman tidak sedikit. Ya sudahlah, setidaknya aku sudah berusaha dan besok harus kirim lamaran ke 200 perusahaan.

Saat aku melangkah pulang, aku mendapati lift-nya sedang bermasalah. Ada beberapa orang di sana yang tampak mendesak agar teknisinya mempercepat proses perbaikan. Ah, dikiranya reparasi itu bisa seperti bimsalabim. Maklum saja gedung kantoran bergengsi seperti ini bisa tercemar imejnya cuma karena persoalan lift. Seorang security memberi tahuku jalan alternatif. Aku disuruh turun lewat tiga lantai lewat tangga darurat lalu memintasi lorong menuju lift barang.

Aku mencoba mengikuti arahan security tadi. Semua tampak mudah sampai kemudian tiba di persimpangan lorong. Aku membatin, apa tadi ada disuruh belok ya? Yang kanan agak gelap sedang yang kiri cukup terang. Aku menoleh sedikit, dan diujung lorong itu ada lift. Mungkin itu lift barang yang dimaksud. Aku bergegas ke sana dan menekan tombol turun. Sialnya aku malah menekan tombol naik. Tak apalah, ikuti saja dulu nanti juga bakalan turun. Lift pun datang, bau besi karat tapi tidak masih jauh lebih baik dari lift gudang logistik tempat temanku.

Lift ini bergerak santai menuju lantai paling atas. Pintunya terbuka, kupikir ada orang yang menekan tombolnya dari atas. Nyatanya hanya pemandangan parkiran tua yang seperti tak pernah dipakai. Tapi ada satu mobil yang mejeng di sana, mobil warna biru yang agak kusam. Aku tak suka melihat ini, aku buru-buru menekan tombol basement dan menutup pintunya. Sekilas aku mendengar sayup-sayup orang meminta tunggu. Tapi aku sudah keburu mantap menutup pintu lift ini dan meluncur ke bawah.

Sesaat aku merasa bersalah. Tapi sudahlah, nanti setiba di bawah kutekankan tombol ke lantai tadi. Lift ini berhenti di lantai lima tanpa menunjukan tanda-tanda bakalan turun lagi. Seolah lantai ini adalah tempat terdasar yang bisa dicapai sang lift. Begitu pintunya terbuka, sebuah ruangan yang cukup besar menyambuku. Sekilas desainnya seperti desain interior khas toko buku ternama, dengan corak desain kaca, namun barang-barang yang dipajang justru fashion.

Aku mengernyit, kutinggalkan lift itu dan masuk ke sana.

“Halo….” panggilku.

Sepertinya tidak ada orang. Aku memberanikan diri berkeliling. Pemandangan sepanjang yang kulewati adalah baju, baik pria ataupun wanita. Ada juga ikat pinggang, jas dan beberapa sepatu. Benda-benda di sini tampak ketinggalan jaman tapi terlihat terawat. Kulihat masih ada ruangan lain di sana. Di ujung sana ada seperangkat audio set dengan speaker yang tengah memutar sesuatu. Sekilas terdengar seperti musik tapi makin kusimak itu makin tidak seperti sebuah lagu. Apakah sebuah pidato?

Aku tak berani menjelajah lebih jauh atau sekarar menengok ruangan sebelah, aku bergegas kembali ke lift. Saat aku sampai di depannya, pintu lift terbuka dan membawakan dua orang yang sepertinya juga tersesat.

“Lu orang kan, bang?” tanya satu orang yang memakai kemeja hijau zamrud mencolok.

“Ya iyalah orang, liat kaki gue masih napak!” sahutku sambil menunjuk kakiku.

Wajahnya takut dan galau, sedang temannya menoleh ke ruangan ini.

“Gila dibikin nyasar gue sama security di bawah! Katanya bisa lewat lift barang, malah stuck gue di parkiran serem lantai atas. Untung aja gue ketemu dia,” terang si kemeja hijau menunjuk temannya. “Gue kira bakalan turun ke basement, malah ke tempat apalah ini. Pusing gue!”

Aku bungkam, jangan-jangan tadi suaranya orang ini?

“Kita coba naik ke atas lagi gimana? Tapi jangan lantai paling atas? Ke lantai berapa gitu. Nanti kita cari jalan,” usul temannya.

“Yaudah, coba dah!” sahut si kemeja hijau yang sudah tampak putus asa.

“Lantai 14 aja, tadi gue dari lantai 17 di arahin ke sana buat naik lift ini,” ujarku.

Ia mengangguk pasrah. Kami bertiga masuk ke lift dan menekan tombol 17. Alih-alih meluncur ke atas, lift ini malah bergerak ke samping. Melewati corak desain kaca sepanjang dinding yang kukira cuma hiasan. Lift aneh itu seperti membawa kami bergerak mengelilingi ruangan ini, lantai ini. Lantai ini seperti departemen yang jarang dikunjungi orang.

Lift yang tengah meluncur horizontal ini sempat seperti menabrak etalase dasi. Kemudian bergerak mendekat ke area audio set yang memutarkan pidato. Sayup-sayup pidato itu makin terdengar jelas. Ini bukan pidato motivasi atau rekaman siaran radio semalam. Bahkan itu bukan dari bahasa yang familiar. Suara itu, ucapan itu terdengar mengerikan. Berat, gelap dan dingin.

“Jing! Tempat apa sih ini sebenarnya?” oceh temannya si kemeja hijau.

Lift ini lalu membawa kami ke ruangan sebelah yang tak jadi kusambangi. Aku menjauh dari pintu. Ruangan yang ini masih memajang baju-baju, tapi tak sebanyak ruangan tadi. Yang banyak justru patung manekin. Berbagai model dan pose bertebaran seolah mereka sedang berpesta di tempat ini. Jujur saja, dengan kondisi manekin-manekin yang tak terurus dan rusak. Lift ini bergerak menuju sisi ruangan yang pencahayaannya makin redup hingga gelap.

Sampai sini aku takut ada yang melompat ke arah pintu kaca lift ini. Auranya sudah tak mengenakan. Si kemeja hijau terlihat panik dan mencoba menghubungi siapa saja yang bisa ia jangkau. Rasa takut bercampur imajinasi yang tidak-tidak membuat otakku menciptakan sendiri bayangan seram dari siluet gelap di sana. Aku berniat menyalakan api dari geretanku untuk sebuah cahaya saja, hanya untuk memastikan kesemuan imajinasiku. Si kemeja hijau langsung mencegahku sambil menggeleng serius. Aku menurut.

Aku berusaha mengabaikan suara-suara yang diciptakan imajinasiku. Suara nafas, sura tercekik, suara tawa kecil, suara senandung lagu, sampai suara rintihan. Aku menoleh ke arah si kemeja hijau dan temannya. Mereka tampak takut tanpa bisa menenangkan diri. Aku merapat ke mereka. Kurasa menutup mata akan lebih baik untuk apapun yang akan terjadi selanjutnya.

Lift berhenti bergerak dan pintunya terbuka. Aku memberanikan diri membuka mata, bukan ruangan gelap ataupun alam baka. Kami bertiga kembali ke ruangan tadi, area yang terang dengan koleksi baju-baju kuno. Teman si kemeja hijau bangkit dan menekan-nekan tombol lift.

Tombolnya tampak padam. Lift sudah tak beroperasi.

“Kita bakal mati di sini,” ujar si kemeja hijau.

Aku bangkit dan memilih keluar dari lift, ngeri membayangkan jika tiba-tiba saja benda itu mendadak terjun bebas.

“Seenggaknya di sini gak serem,” ujarku kepada orang itu dan temannya.

“Gak serem??” seru temannya si kemeja hijau. “Gak serem kata lu?? Lu gak liat di area sebelah itu apa? Lu gak denger suara di sound sytem di sono tuh apa??”

Aku tak punya argumen untuk menyangkalnya. Sayup-sayup suara pidato aneh itu masih terdengar, menggaung dan tetap terdengar horor.

Si kemeja hijau mencoba menelpon terakhir kali hingga kemudian ponselnya kehabisan daya.

“Lu nggak coba telepon siapa gitu?” tanya si kemeja hijau.

“Nggak ada sinyal.”

Si kemeja hijau mendesah, dia mendorong satu gantungan baju hingga jatuh berhamburan saking kesalnya.

“Lu hafal doa-doa apa kek gitu di situasi begini?” tanya si kemeja hijau ke temannya. “Biar kita bisa, seenggaknya tenang gitu.”

“Entah! Gak bisa mikir gue, paling doa sebelum tidur yang gue inget,” sahutnya.

“Lu? Mungkin lu tahu yang lebih baik?” tanya si kemeja hijau.

Aku menarik nafas, lalu kulantunkan ayat-ayat suci. Kebetulan kupilih surat al-kahfi yang sedang kuhafalkan akhir-akhir ini. Kudengar yang membaca surat ini akan disinari cahaya yang membuat setan tak berani mendekatinya. Wallahua’lam. Kubacakan sampai habis kira-kira setengah jam.

“Udah lebih tenang?” tanyaku.

“Mayan,” kata temannya si kemeja hijau.

Kami bertiga terdiam selama beberapa saat.

“Tadi pas kita ngelewatin ruangan gelap, gue ngeliat kayak jendela gitu,” ujar temannya si kemeja hijau.

“Serius?” tanyaku, seolah ada harapan.

Ia mengangguk. “Cuma nggak tahu kebuka atau nggak, atau madep ke mana.”

Takutnya menghadap langsung ke bawah, alamat terjun bebas nanti.

“Menurut lu gimana?” tanyaku ke kemeja hijau.

“Mau coba?” dia malah bertanya balik.

Aku melirik sekilas temannya.

“Daripada mati tanpa kepastian, mending mati pas berjuang. Apapun yang terjadi terjadilah,” ujarku.

Kami bertiga kompak bergerak ke ruang sebelah. Dari area yang bercahaya tak terlihat jendela yang dimaksud temannya si kemeja hijau. Perasaanku saja atau patung manekin di sana tampak menghadap ke arah kami. Temannya si kemeja hijau meletakan jari di depan bibirnya kepadaku. Aku mengangguk. Aku berjalan mengikuti di belakangnya, melewati formasi patung-patung manekin setengah rusak. Dilihat dari dekat makin seram saja. Ada yang wajahnya tergerus separuh, tangannya buntung, kakinya bengkok tak wajar, ada yang bentuknya tak sempurna, hingga yang separuh badannya hilang. Belum pernah aku semerinding ini melihat manekin. Dan ini jelas bukan pemandangan yang memanjakan mata.

Aku menelan ludah saat menjejakan kaki di area gelap. Namun orang di depanku memberi isyarat untuk terus maju. Kali aku berusaha mengikuti dengan cekatan namun juga tidak berisik. Seharusnya tak sejauh ini, tapi rasanya seperti mengejar bulan. Aku sempat khawatir bakal terjebak di dimensi kegelapan dan terlupakan. Apakah segelap ini alam kubur ya?

Seberkas cahaya mengusik pemandanganku, jauh di sana. Meski samar aku percaya itu jendela. Agak tinggi tapi bukan berarti tak bisa dipanjat. Aku bahkan bisa melihat senyum temannya si kemeja hijau saat menunjuk ke situ. Jalan keluar untuk kami bertiga.

Sayup-sayup terdengar suara yang tak asing. Aku berhenti sebentar untuk menyimak. Sedetik kemudian aku sadar bahwa suara itu adalah rekaman pidato mengerikan dari ruangan sebelah. Suara yang terdengar seperti rapalan mantera di upacara penumbalan nyawa sekte pemuja setan itu terasa mendekat, seperti sesuatu tak kasat mata yang merangkak dengan cepat. Ini bukan pertanda bagus! Lantas aku mempercepat langkah. Semakin dekat aku ke jendela, makin jelas suara itu. Kata demi kata yang menakutkan. Aku membayangkan audio set itu berjalan sendiri dan tengah mengejar kami.

Dia memanjat naik dan megecek jendelanya yang ternyata bisa dibuka. Ia lalu turun, memberi isyarat aman, dan mempersilakanku. Aku menoleh ke belakang niatnya ingin memberi giliran pertama kepada si kemeja hijau. Namun tak ada siapa-siapa lagi di sana. Hanya kegelapan pekat dan suara mengerikan yang kian mendekat.

“Si baju ijo di mana?” bisikku sambil tengok kanan-kiri.

“Nggak usah khawatirin Rian,” ujar dia pelan. “Ayo pergi selagi masih bisa!”

“Tapi,” tukasku.

Kemudian suara itu terdengar sedekat ia berbisik tepat disamping telingaku.

“Ayo!” seru dia.

Aku lompat memanjat meraih ke jendela. Aku sesaat menoleh ke arah dia, teman si kemeja hijau. Aku belum tahu namanya.

“Erlan,” ujarnya sambil tersenyum kaku. Sosoknya kian ditelan kegelapan. Aku melompat nekat. Apapun yang terjadi terjadilah!

Rasanya aku seperti melompat dari lantai tiga belas. Seharusnya aku mendarat dengan keras hingga tulang-tulangku patah dengan menyakitkan. Namun aku mendarat dengan mulus, hanya lututku sedikit goyah. Aku mengedarkan pandangan, sepertinya aku sedang berada di jalur lintasan parkiran mobil sebuah gedung. Gedung tua yang benar-benar terbengkalai. Tempat yang gelap dan sunyi seolah tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Yang lebih mengejutkannya, sekarang sudah malam. Persetanlah! Yang ada dalam pikiranku adalah keluar dari tempat ini secepatnya.

Aku berlari turun seperti orang gila, aku akan merasa aman jika sudah berpijak di bumi. Sebelum sampai di bawah aku berpapasan dengan satpam yang meneriakiku tadi pagi.

“Kamu ngapain di area sini mas??” sergahnya sambil menyorotku dengan senter, mungkin memastikan kalau aku bukan jadi-jadian.

“Maaf pak, aku abis keluar dari ruangan apa itu, di lantai lima. Ruangan gelap banyak manekin rusaknya, tapi ada ruang yang terang, pojok busana kali ya itu. Trus ada suara aneh yang serem,” terangku seperti racauan.

“Udah, udah, mas!” ujar pak satpam. “Ayo kita turun dulu. Kita duduk ngobrol dulu di pos bawah.”

Aku menurut, aku merasa seperti kembali ke duniaku.

Di pos itu diceritakanlah sebuah legenda urban yang cukup terkenal di kalangan karyawan Menara White Ace. Gedung tempatku ditemukan itu adalah gedung lama yang punya sebuah kisah kelam. Dulu pernah ada dua orang yang kecelakaan di lift karena ada gempa bumi dadakan. Saat posisi lift di lantai lima, kabel penarik lift-nya putus dan terjun bebas. Dua orang itu mati mengenaskan. Dan mereka sama-sama pelamar kerja yang menghadiri wawancara kerja hari itu.

Sejak gempa itu, ketenaran gedung White Ace memudar dan perlahan ditinggalkan. Bukan Indonesia kalau segalanya tidak dikaitkan dengan hal-hal ghaib. Ada kabar-kabar burung yang beredar, misalnya: sebelum kejadian ada customer iseng yang memutarkan rekaman suara ritual pemujaan setan di audio set. Ada yang bilang manajemen tidak mau keluar uang untuk mencari jasad yang belum ditemukan di gedung lama.

Yang jelas aku bisa selamat itu adalah keberuntungan besar, karena beberapa waktu lalu pernah ada yang tersesat juga dan orang itu tak pernah ditemukan. Aku tadinya bersumpah dalam hati tak akaniimenjejakan kaki ke tempat itu, atau bahkan dekat-dekat. Namun, takdir berkata lain. Aku diterima kerja di perusahaan di gedung White Ace. Aku lebih ngeri tak punya duit daripada hantu jadi kuambil saja kesempatan itu. Tidak menyesal sih. Kadang aku tak sengaja melihat penampakan dua orang itu: Rian dan Erlan, mereka cuma tersenyum pucat. Kalau sudah begitu biasanya sih kode minta dikirimkan al-fatihah.

Satu tanggapan untuk “Lost

  1. Ramadhansuci

    Aahhh cerita nya kurang panjaangggg padahal lagi seru² nya huhuhu 😥

    Suka

Tinggalkan komentar