Cermin

Pohon itu, tempat itu, persis seperti dalam mimpiku. Aku hanya tinggal duduk bersandar di bawahnya. Pikiranku tidak fokus, perang batin berkecamuk. Suara di kepalaku menggema memaksaku mengingat kenangan menyedihkan masa lalu, hati kecilku menuntunku tetap waras. Ah, pantas saja makin banyak orang gila sekarang! Mempertahankan kewarasan memang bukan perkara mudah.

Pernah kubaca di suatu tempat, ada dua hal yang tak semua orang bisa dapatkan di dunia ini. Satu cinta sejati dan yang kedua adalah sahabat sejati. Sayang, tak pernah aku berkesempatan mendapatkannya barang satu. Aku hanya dapat melihatnya datang menghampiri tapi saat kupegang tangannya, ia melepaskan diri seperti halnya menggenggam pasir.

Masa sekolahku tidak terlalu indah. Aku terlalu unik untuk masyarakat yang normal. Tak ada yang mau duduk semeja dengan kartun freak memiliki semua sifat yang buruk. Sering kali caper, berlebihan, tukang pamer, bahkan omong besar. Aku bahkan tak pernah mendengarkan jika ada yang menasihatiku.

Alhasil aku selalu sendirian. Kadang bicara sendiri untuk menghibur diri. Meski aku tak benar-benar bicara sendiri, setidaknya aku cuma berusaha menarik perhatian orang lain. Meski beberapa tahun kemudian aku baru sadar hal itu sia-sia. Hanya membuat orang makin menjauhiku.

Sehingga aku menyibukan diri dengan menggambar. Aku ingat saat itu pelajaran Biologi. Gurunya menyerahkan sepenuhnya ke murid-murid untuk membentuk grup sendiri. Aku benci ini. Saat semua orang pada heboh tarik-menarik membentuk kelompok, aku menggambar sendirian di mejaku. Menunggu grup sisaan yang mau menerimaku, itu juga dipaksa sang guru dulu.

Dan kemudian dia datang.

“Gambarnya bagus!” puji dia.

Aku menoleh, senyum sepuluh jarinya menyentakanku dalam hati.

“Mau gabung ke grup aku nggak?”

Perlu beberapa detik sampai aku mengangguk. Aku tak salah dengar kan? Ooh tentu tidak! Aku kan memang awesome.

Tiap grup nanti harus membuat banyak ilustrasi objek untuk laporan tugas. Itulah kenapa aku diajak gabung. Meski teman-teman segrup tidak terlalu suka dengan ide ini tapi aku tak peduli. Satu orang yang baik hati saja cukup. Namanya Adelia, salah anak yang cukup ramah dan ceria di kelas. Aku kok baru tahu ada cewek secantik ini?

“Kenapa nggak bikin komik aja?” tanya dia saat aku membuatkan ilustrasi jeroan kodok.

Komik? Challenge accepted. Aku lalu membuat beberapa lembar komik di atas kertas A4 hingga semalaman suntuk. Kemudian kuberikan kepada Adelia di suatu pagi.

“Udah jadi komiknya? Keren! Ntar aku baca,” ujarnya.

Aku mengangguk dan kembali menggambar diam-diam bahkan di tengah berlangsungnya pelajaran. Kali ini aku membuat tokoh ksatria wanita dengan senjata tongkat panjang seperti milik Sailor Saturnus.

“Aku udah baca, gambarnya bagus cuma ceritanya terlalu pendek.”

Halah, bilang aja sih: cerita loe gak jelas!

Tak tak apa, ada yang mau membacanya saja aku sudah cukup senang. Sejak saat itu sepertinya aku mulai menyukai Adelia. Sayangnya, aku bukan tipikal orang yang pandai mengekspresikan perasaan. Aku belum pernah PDKT dengan cewek seumur hidup. Salah satu yang bisa kulakukan adalah menghadiahinya bermacam gambar-gambar karakter Wedding Peach favoritnya. Aku bahkan pernah diomeli ibunya Adelia karena terlalu sering menelpon ke rumahnya. Waktu itu jaman-jamannya wartel dan telepon koin.

Yang paling kuingat, saat acara menghias kelas di acara 17 Agustusan. Sebagai ganjaran dari kerja keras, wali kelas membawakan nasi uduk dan nasi ulam. Ditambah sisa uang patungan juga sih.

“Ah, aku gak suka nasi ulam!” ujar Adelia.

“Iya, nasi ulamnya kebanyakan nih?” sahut temannya.

“Mau tukeran sama aku gak? Aku dapet nasi uduk nih?” tawarku yang kebetulan di belakangnya.

“Beneran??”

Aku mengangguk dan menyodorkan bungkusan nasi uduk yang hampir kubuka.

“Makasih ya?” ujarnya dengan senyum riang.

Sama-sama, Adeliaku. Aku suka sekali melihatnya tersenyum.

Aku ingin punya fotonya biar bisa kupajang di binder pribadiku. Sayang hal itu tak pernah terwujud. Bahkan saat aku pinjam handphone berkamera seorang temanku, Adelia menolak difoto dan langsung menutup muka. Saat itu narsis kamera belum marak. Aku pun inisiatif membuat skektsa wajahnya saja. Nggak terlalu mirip sih tapi setidaknya aku puas dengan hasilnya.

Mungkin teman-temannya sampai bingung, kenapa mau berbicara dengan orang aneh sepertiku. Ya, orang baik mah beda, boss! Tapi semua itu berubah tatkala kelas dua. Aku pisah kelas dengan Adelia. Dia masih tetap menyapaku dan tersenyum kalau papasan, tapi tetap saja aku merasa tak seleluasa dulu lagi.

Tak tahan dengan cinta bertepuk sebelah tangan, aku mendatangi seorang anak yang terkenal mak comblang terbaik seangkatan. Katakanlah namanya Dewi.

“Adelia?? Nggak salah denger nih aku?” ujar Dewi dengan nada meremehkan.

“Kenapa emangnya? Setiap orang bebas mencintai siapa saja kan? Ini negara demokrasi!”

Dewi menggeleng-geleng kepala. “Dia kemarin ditembak sama kak Firman. Aku rasa sih diterima.”

Hatiku langsung hancur berkeping-keping mendengarnya. Rasanya seperti prajurit yang ditombak tembus dari punggung ke dada saat di medan perang. Cahaya kehidupan yang selama ini menerangi hatiku mendadak meredup dan terus meredup hingga yang tersisa adalah kegelapan pekat.

“Kamu nggak mau ama yang lain aja apa? Mirna jomblo. Siska lagi nyari pacar?” tawar Dewi.

Aku menggelengkan kepala lalu pergi. Kutatap dalam-dalam sketsa wajah Adeliaku yang tengah tersenyum. Ingin kurobek saja tapi tak tega. Aku mulai over-thinking membayangkan gambar-gambar Wedding Peach buatanku dibuang olehnya di tabunan sampah.

Tiga hari aku tidak masuk sekolah sampai akhirnya ibuku memaksaku masuk apapun yang terjadi. Aku malas, benar-benar malas. Apalagi kalau melihat Adelia di pinggir lapangan menonton kak Firman bermain sepak bola. Atau mereka makan sepiring berdua dengan romantis. A couple of the year. Kadang aku menampari mukaku sendiri karena tidak bisa menjadi sosok yang diinginkan Adelia.

Aku lalu mendatangi Dewi lagi.

“Dew, punya informasi tentang kak Firman” tanyaku.

“Mau ngapain? Mau gebugin dia karena udah jadian ama temenmu? Dia jago berantem, tauk!”

“Nggak lah! Pengen tahu aja profil cowok idaman Adelia itu,” jawabku ngeles. “Siapa tahu kalau aku kayak dia, Adelia mau sama aku.”

Dewi tampak kasihan denganku. Dikeluarkan binder keramatnya dan memperlihatkan biodata kak Firman. Dewi juga menceritakan hobi dan tempat nongkrong kak Firman.

Ya, beberapa informasi cukup buatku untuk membuntuti diam-diam mereka kalau lagi jalan. Dengan modal topi dan masker cukup untuk membuatku tak dikenali. Kak Firman dan Adelia keseringan makan di restoran fast food, main game bareng di Time Zone atau mojok di sebuah taman publik. Segila itu aku, tapi ada rasa puas dalam hati.

Suatu ketika Dewi bilang, hubungan Adelia dengan kak Firman sedang kurang bagus. Rumornya, Adelia tidak suka dengan teman-teman nongkrong kak Firman yang cenderung nakal dan onar. Dewi ini seperti wartawan gosip nomer wahid. Hari ini mereka jalan, aku memutuskan untuk stalking mereka.

Mereka makan di sebuah tempat makan sea food kemudian lanjut ke taman langganan mereka, mojok. Aku cuma mengamati dari jauh mereka tampak mengobrol dengan wajah datar. Lama kelamaan tensi di antara keduanya makin sengit hingga kemudian kak Firman meninggalkan pacarnya. Adelia bangkit dan mengejar tapi malah didorong kak Firman. Orang itu terus berjalan tanpa menoleh. Adelia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Seandainya ingin meniru seperti di film-film, aku pasti keluar dari persembunyian dan menghampiri Adeliaku. Menyeka air matanya dan mengajaknya pulang. Tapi aku tak kunjung beranjak hingga Adelia pulang sendiri.

“Del,” aku menemuinya saat di kelas seusai sekolah.

“Hai, Dil,” sapanya.

“Boleh ngomong sebentar?” tanyaku.

Adelia mengangguk.

“Katanya kamu lagi sedih ya, aku mau nyemangatin kamu. Semangat! Semangat! Semangat wahai Adelia! Kamu harus bangkit lagi kayak Peach! Karena kamu kan Adelia yang periang dan baik hati! Anggota keempat Wedding Peach.”

Adelia tersenyum.

“Makasih ya Dil, aku beruntung punya temen kayak kamu.”

“Del, tahu nggak kalau selama ini aku suka sama kamu?” ujarku mendadak nekad. “Dan kak Firman yang brengsek itu nggak pantas nyakitin kamu!”

Raut wajah Adelia perlahan berubah.

“Maksud kamu apa ngomong begitu?”

“Aku sayang kamu, Del. Aku nggak mau ngeliat kamu disakitin sama kak Firman. Kamu itu harus bahagia!”

Adelia sempat tertegun dengan ucapanku.

“Maaf ya, Dil. Ini bukan urusan kamu. Sebaiknya kamu jangan ikut campur!”

“Tapi, Del!” tukasku. Sepertinya aku terlalu cepat untuk mengatakan isi hatiku.

Adelia mengambil tasnya dan pergi dari hadapanku. Apa aku terlalu cepat mengungkapkan perasaanku ini?

Tak lama setelah itu Firman datang ke kelasku dan menghajarku dengan brutal. Tak ada yang melerainya.

“Jangan gangguin cewek gue lagi, bangsat!” ujarnya sebelum pergi dengan angkuh.

“Yang bangsat itu elu, juga,” gumamku sembari menyeka darah di ujung bibirku.

Ketua kelas lalu mengantarku ke ruang UKS.

“Mau aku bantu bilangin ke guru nggak?” tawar ketua kelas.

Aku menggelengkan kepala. “Nggak usah, pasti yang dibelain kak Firman.”

Dia mengangguk paham setelah itu meninggalkanku agar bisa istirahat. Di ruang UKS aku menghabiskan waktu sampai selesai sekolah. Merenungi kejadian-kejadian yang terjadi. Dipukuli di depan orang-orang begitu rasanya membuat harga diriku terjun bebas. Apa besok aku ke sekolah pakai topeng saja?

Kisah cinta Adelia yang hanya manis di awal kembali jadi gosip hangat. Kudengar dari Dewi, Adelia pernah menangis di kelasnya. Ia dan kak Firman sempat cekcok di koridor kalau saja tak ditengahi teman-teman. Meski Adelia telah membenciku, tapi jiwaku terpanggil untuk menghiburnya lagi. Kugambar sosoknya yang sebagai anggota keempat Wedding Peach yang terbang bersama tiga rekan pembasmi kejahatannya. Dia pasti suka.

Aku mengejarnya saat pulang sekolah. Adelia terus saja berjalan meski aku terus memanggilnya.

“Del, ijinin aku nyemangatin kamu!” kataku sembari membuka tas mengambilkan gambar yang sudah kubuatkan untuknya.

“Aku nggak mau ngomong sama kamu!” kata Adelia memalingkan wajahnya.

“Ini aku punya sesuatu buat kamu, bentar!”

Firman tiba-tiba datang menjegalku.

“Masih nggak ngerti juga apa kamu?” kata Firman menghalangiku.

Aku dorong Firman dengan keras sampai nyusruk ke semak-semak.

“Aku ini lagi ngomong sama Adel!” omelku. Aku kembali mengudek-udek isi tasku.

“Aku nggak mau ngomong sama kamu!” seru Adelia dengan penuh kemarahan. “Dasar orang gila!”

“Del, kok kamu ngomong gitu ke aku?” tanyaku yang langsung berhenti mencari.

“Emang nggak cukup apa, aku baik sama kamu selama ini? Aku cuma kasian ama kamu! Orang-orang itu pada ngehindarin kamu! Nggak ada yang mau temenan sama kamu!” seru Adelia “Kamu sekali-kali sadar diri napah! Orang yang baik sama kamu bukan berarti mereka punya cinta sama kamu!”

“Tapi Del,” sergahku, retakan di hatiku terasa berbunyi krak!

“Kamu mending ngaca deh, kenapa orang gak suka sama kamu! Bukan cuma karena kamu yang freak atau suka ngomong sendiri. Kamu pengen dingertiin tapi sendirinya nggak mau ngertiin orang lain!”

“Kasih aku kesempatan, Del!”

“Dah lah, bodo amat! Jangan ganggu aku atau kak Firman lagi! Enyah kamu dari hidupku!”

Cahaya satu-satunya di dalam hatiku perlahan meredup hingga tak bersiaa. Sebuah pukulan keras menghantam belakang kepalaku. Tapi sudah tidak terasa sakit lagi. Aku jatuh terduduk, kulihat siluet Firman mengejar Adelia.

Sejak saat itu aku selalu menghindari cermin. Setiap mataku tak sengaja menoleh cermin, tanganku refleks menampari wajahku. Aku benci melihat bayanganku yang terpantul. Orang sepertiku tak pantas mencintai siapapun. Hidup tanpa cinta itu seperti taman tak berbunga kan? Kalau kata sebuah lagu yang pernah kudengar saat mampir di sebuah warkop.

Tapi lebih dari itu, jika sudah kehilangan cahaya kehidupan, apalah alasan kita tetap bertahan di dunia yang kejam ini? Aku mulai berpikir untuk bunuh diri. Siapa tahu ada yang menangisi kepergianku, di kalangan teman-teman mungkin? Aku mendadak mulai merencanakan pilihan bunuh diri terbaik. Gantung diri, minum racun, lompat ke sungai atau menabrakan diri ke mobil yang ngebut. Membayangkan sedikit saja mendadak sudah terasa sakitnya. Sepertinya gantung diri itu pilihan yang lebih mudah meski terlau mainstream. Ah, sebaiknya aku memikirkan tentang surat wasiat dulu biar dramatis.

Belum kesampaian niatku ini, datang kabar tak mengenakan. Adeliaku ditemukan meninggal dalam keadaan gantung diri di kamarnya. Tahu rasanya mengalami sakit hati terhebat? Belum sembuh perihnya sudah ditancapkan lagi luka yang kedua. Dadaku terasa sesak tak berkesudahan. Terlebih saat kehadiranku ditolak keluarga yang berduka. Firman yang ada di sana pun sok-sok mengusirku dengan kasar. Mereka tidak tahu saja kalau sebelumnya Adelia dan Firman bertengkar hebat.

Aku cuma ingin melihat wajah Adeliaku untuk terakhir kalinya. Atau setidaknya mengantar sampai ke peristirahatan terakhir. Namun mereka tidak memahami dukaku. Aku cuma dianggap orang aneh yang pernah meneror gadis kecil mereka. Dewi yang juga disana lekas menjauhkanku dari ketegangan. Setidaknya dia lebih tahu akan perasaanku. Dewi menghibur dan menenangkanku meski cuma sebentar. Ia kembali ke teman-temannya di sana dan pergi.

Bahkan untuk menangisi kepergian orang yang kusayangi pun aku tidak boleh. Aku benci diriku! Kupecahkan semua cermin di rumahku. Aku benci melihat bayangan wajahku.

Seiring berjalannya hidup, aku jadi sering berbicara sendiri. Awalnya seperti ada bisikan-bisikan di kepalaku sampai akhirnya bisikan itu menjadi suara yang lebih utuh dan berbicara padaku. Saat aku ragu ia meyakinkanku, saat aku lemah ia menyemangatiku, saat aku sendirian ia menemaniku dan saat aku membuat kesalahan ia memaki-makiku. Beberapa orang mulai takut dengan kebiasaanku ini.

Tak apa, itu lebih baik! Lebih baik orang melihatmu dengan takut ketimbang melihatmu dengan hina.

Ya, benar juga sih.

Tinggalkan komentar