Dilema Sarah

A Real Dose of Hope When You're Feeling Hopeless

Bunyi kembang api semakin riuh, pun tetap terdengar di sekitar rumah sakit st. Angel. Adalah Sarah Peterson hanya menatap kosong luar jendela tempatnya dirawat. Sebentar lagi pergantian tahun menuju 2006. Artinya sudah 4 tahun ia berbaring di ruangan ini.

Penyakitnya tak kunjung sembuh. Sarah juga tidak punya kelurga, setidaknya jika orang-orang panti asuhannya tidak masuk hitungan. Biaya rumah sakitnya ditanggung oleh sebuah yayasan amal yang cukup terkenal di negara bagiannya.

Teman-temannya tak ada yang datang menemuinya hari ini. Mereka tengah sibuk berpesta tahun baru. Sarah sudah terbiasa dengan keadaan. Di awal-awal dia dirawat masih banyak teman-temannya yang datang menjenguk, berbagi cerita dan canda tawa serta membawakannya bunga. Semakin ke sini mereka semua semakin sibuk, hingga hanya  dua tiga orang saja dalam sebulan. Itu pun termasuk orang panti asuhan yang mengecek keadaannya. Tak ada lagi kunjungan dari sahabatnya, Betty. Rumornya Betty punya pacar dan sudah dua tahun menjalin hubungan. Sara hanya menghela nafas jika teringat. Bagaimana pun orang-orang itu punya kehidupan masih-masing bukan?

Sara rindu dunia luar, rindu bermain di bawah hujan, membuat bola salju hingga menyaksikan daun-daun yang berguguran di musim gugur. Mimpinya untuk menjadi astronot harus dibuangnya saat di usia 15 tahun ia divonis penyakit ini.

Tubuhnya sudah semakin lemah dan mulai sulit menerima asupan obat. Kadang Sarah berharap agar dokter mencabut saja semua alat yang menempel di tubuhnya. Alat-alat yang membuatnya masih bertahan dan bernafas.

Pintu kamarnya diketuk, ketika Sara baru akan memejamkan mata. Luke muncul dari daun pintu dengan senyumnya.

“Apa aku mengganggu?” tanyanya.

Sejujurnya Sara tidak terlalu dekat dengan Luke sejak awal kenal, dia agak pendiam dan misterius. Namun karena Sarah sedang tidak ingin sendiri maka ia pun mempersilakan.

“Tidak, masuklah,” ujar Sara.

Senyum Luke agak dingin, yang memang ciri khasnya.

“Apa kabar?” tanyanya basa basi. Dikeluarkan sebuah bunga entah dari mana. Sara tidak melihatnya membawa bunga.

“Tak banyak berubah,” jawab Sara sembari menerima bunga itu. Indah sekali. “Terima kasih.”

Mereka mengobrol santai, Luke bercerita tentang sekolah dan teman-teman mereka dari sudut pandangnya. Termasuk rencana teman-temannya malam ini mengadakan pesta barbekue di suatu apartemen. Diam-diam Sara iri seandainya ia bisa bergabung.

“Beritahu aku satu mimpimu!” ujar Luke melirik ke arah bunga pemberiannya yang sudah ditaruh di pot.

“Mimpi apa?”

“Mimpi yang sangat ingin kau dapatkan atau yang ingin kau alami.”

“Hmm, mimpi ya?” ulang Sarah. “Termasuk yang paling ajaib?”

“Termasuk yang paling ajaib!” ulang Luke dengan yakin.

“Aku ingin terbang ke melihat lautan bintang dengan unicorn mengenakan gaun Cinderella,” ujar Sara sembari melirik baju rumah sakitnya yang setia dia pakai.

“Impianmu indah sekali,” ujar Luke.

“Apa kau akan mengabulkannya?” tantang Sara.

“Mungkin,” sahut Luke sembari mengeluarkan kotak hitam indah dari sakunya.

Sara menerimanya tanpa bertanya, saat dibuka ia mendapati sebuah liontin hati dari kaca berwarna biru.

“Pakailah,” ujar Luke.

Sara memakainya. Liontin itu bersinar, seperti pelangi. Dari jauh Sara seperti mendengar ketepak kuda. Dengan cahaya menyilaukan tiba-tiba saja muncul seekor kuda bersayap dengan tanduk runcing. Sara terkesima.

Seekor unicorn dengan sayap! Mungkin hasil kawin silang pegasus dengan unicorn. Sarah turun dari tempat tidurnya, selang-selang yang selama ini mengungkunginya terlepas begitu saja. Rasanya begitu bebas. Sarah mengusap kuda bersayap itu seolah tak percaya, warnanya seputih mutiara. Ia menoleh ke arah Luke, Luke pun mengangguk.

Sarah menaiki pegasus bertanduk itu, dan sekejap sang pegasus menghentak dan melebarkan sayapnya. Suara ringkikannya menggema, Sara menutup matanya saat sang pegasus menuju jendela. Tak ada suara pecahan, tak ada benturan. Saat Sarah membuka matanya dia sudah berada di angkasa, menuju langit tinggi. Udara malam segar mengisi paru-parunya, Sara begitu merindukan suasana ini.

Sarah harus berpegang erat pada leher si pegasus tatkala kuda bersayap dan bertanduk itu mencongkang mendaki langit. Namun rasa takutnya terbayar dengan pemandangan kembang api yang menari-nari. Begitu indah dan berwarna-warni tanpa membahayakannya sama sekali. Belum pernah Sarah sedekat ini melihat kembang api.

Perjalanan belum selesai, bersama si pegasus Sarah terbang menembus atmosfer jauh meninggalkan bumi, meninggalkan kota yang membesarkannya. Melihat asteroid dari dekat, memutari bulan hingga menelusuri milky way yang selama ini cuma Sarah lihat dari buku. Belum pernah Sara sebahagia ini. Namun kebahagiaan itu pada akhirnya akan berakhir, cepat atau lambat.

Pegasus yang ditungganginya seperti tahu isi hati Sara, ia berbelok menuju bulan namun menuju satu tempat di dekat situ. Semakin dekat Sara mendapati tempat itu seperti sebuah negeri dongeng yang sering diceritakan dalam cerita-cerita pengantar tidur. Hamparan padang rumput sejauh mata memandang dengan sungai-sungai yang mengalir. Di sana berdiri sebuah istana yang indah sekali, seperti istana Snow White tapi lebih cantik lagi.

Tampak dua orang berdiri di depan gerbang yang terbuka setengah. Dua orang itu tampak sedang menunggu kedatangan Sarah. Si pegasus mendarat dengan apik, ia meringkik seolah menunjukan kegaharannya. Bersama Sarah, ia mendekat ke pintu gerbang itu. Dua orang itu sepasang laki-laki dan perempuan, mengenakan pakaian bangsawan seperti di buku. Sarah belum pernah melihat mereka tapi ia merasa mengenal mereka.

“Kami adalah orang tuamu, Sarah. Kami sudah lama menunggumu,” ujar yang perempuan. Ia tersenyum kepada Sarah. Sebuah senyuman yang pernah ada dalam ingatan Sarah.

Dada Sarah bergemuruh: sedih, marah, lepas bercampur. Ia turun dari pegasus dan berlari memeluk ibunya. Sarah menangis meluapkan semua perasaan yang selama dia pendam. Ayahnya menghampiri dan memeluk mereka, menyambut reuni keluarga yang telah lama berpisah.

“Bersama kami, kamu tak akan kesepian lagi. Maukah kamu tinggal?” tanya ayahnya sembari membelai rambut Sarah.

“Tentu, tentu saja!” jawab Sarah sambil mengangguk sesunggukan. Ia tak ingin kembali ke kota itu, kembali ke kamar rawatnya yang sepi dan dingin, bersama alat-alat yang membelenggunya.

“Ayo, semua orang sudah menunggumu,” ujar ibunya sembari menggenggam tangannya.

“Semua orang?” ulang Sarah.

“Kamu akan tahu,” sahut ayahnya lalu menggenggam tangannya yang satu lagi. Mereka bertiga memasuki istana bergandengan. Sesekali Sarah bermain-main, berayun ria dalam gandengan kedua orang tuanya. Seperti yang dulu sering dilakukan anak-anak bahagia bersama orang tua mereka di taman Magda. Perlahan baju rumah sakit Sarah berubah menjadi gaun Cinderella, berwarna biru dan berkilau hingga ujungnya menyeret jalan.

*****

Keesokan paginya rumah sakit dikejutkan dengan kematian Sarah Peterson yang tak diketahui. Sara ditemukan tertidur dalam damai. Berita kematiannya begitu cepat tersebar seperti api di gudang jerami.

Teman-temannya pada berdatangan memberikan perpisahan terakhir di kamarnya. Begitu banyak bunga, lilin hingga foto-foto Sarah terpajang. Mereka menyesal tak ada yang menjenguk Sarah. Terutama Betty, sang sahabat. Ia sampai menangis meraung akan kepergian Sarah. Pihak sekolah sampai mengadakan acara khusus demi mengenang Sarah Peterson.

Ini menjadi sebuah misteri tersendiri bagi pihak rumah sakit. Tak ada bunyi peringatan saat denyut nadinya menipis. Tak ada seorangpun yang membesuk Sarah seharian itu. Suster yang jaga tak menemukan tanda-tanda keanehan. Vas bunga Sarah pun masih kosong sejak terakhir tuan Quinton, sang tukan kebun rumah sakit memberinya bunga.

Suster menatap wajah Sarah yang sedang ditutup dengan kain oleh dokter. Dalam hatinya ia berbisik, “Sekarang kamu tak akan merasakan sakit lagi. Damailah dalam istirahat panjangmu.”

Tinggalkan komentar