Pulang Kampung

“Bang, kok cuti gue gak di-approve? “ tanyaku kepada bang Ferdi, SPV-ku.

“Kita lagi mau ada kunjungan dadakan dari VVIP, “ jawab bang Ferdi. Jawaban yang tidak cukup memuaskanku

“Yah, bang! Gue kan udah ajuin dari jauh-jauh hari, “ protesku. “Gue juga bukan buat liburan. Nyokap gue di kampung lagi sakit, bang. “

“Kita lagi perlu banyak personil, Nu!” kata bang Ferdi setelah tarik nafas panjang. “Gue juga pusing segala ada kunjungan di minggu tenang.”

Aku mengerutkan dahi, masih menunggu kebijakannya sebagai seorang SPV.

“Gini aja, hari pertama lu masuk. Besoknya lu cabut dah, gue cari pengganti lu dari area Gayus.”

“Yaudah kalau gitu, makasih bang,” ujarku lalu berbalik pergi. Malas sebenarnya mengucap terima kasih, meski aku paham posisinya.

Aku terlalu sibuk bekerja, meniti karir di sebuah ritel yang semula cuma lima toko hingga kini sudah ada di mana-mana. Tahun kemarin aku sampai tidak pulang kampung. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Bahkan, saat dikabari kondisi kesehatan ibuku menurun. Aku masih dirasuki setan workaholic. Ambisiku yang ingin banyak duit sampai disangka ikut pesugihan oleh tetangga. Namun, ketika kakakku menelpon ibu masuk rumah sakit, aku pun sadar ada yang lebih penting dari semua itu.

Meski begitu, aku bukan anak yang lupa-lupa banget kepada orang tuanya. Selalu tiap bulan rutin kukirimi uang, dan tidak lupa menelpon beliau. Walaupan makin kesini semakin jarang. Tapi jujur saja, mendengar suara ibu bisa memberiku energy booster 99%. Satu hal yang pasti, cuma berita bagus saja yang kuceritakan. Segala masalah dan tekanan yang kuhadapi tiada pernah kuceritakan, aku tak mau membuat ibu ikutan sedih.

Aku tak sabar menunggu kedatangan bos besar VVIP ini. Aku beserta rekan-rekan terbaik dari cabang lain sudah bersiaga. Skenario percakapan dan materi sudah kuhafal di luar kepala, hanya tinggal menunggu kemunculannya yang dikawal para big bos lokal. Rasanya seperti sedang menunggu disembelih. Rekan-rekan yang lain juga tak kalah gelisah, ada yang saling latihan hafalan mereka, ada pula yang tegak dengan mata elang mengawasi. Aku sendiri tak bisa konsen karena kepikiran ibu terus.

Karena perubahan rencana ini, tiket kereta yang sudah kupesan terpaksa refund dan beli lagi yang baru. Opsi yang tersisa cuma dua: kereta eksekutif malam yang mahal atau pesawat yang jauh lebih mahal lagi tapi cepat sampai. Aku bisa mengejar waktu dengan pesawat, tapi harganya itu lho tidak manusiawi. Aku tidak boleh terlalu boros karena sedang menabung buat beli motor tunai. Dengan begitu aku bisa pulang kampung tanpa harus pusing beli-beli tiket.

Ditambah lagi kan aku perlu menyiapkan uang untuk biaya perawatan ibu juga. Tik tok, waktu terus berjalan. Yang ditunggu tak kunjung datang hingga makan siang. Tapi tenang, masih ada waktu sampai sore.

“Gimana kondisi ibu?” tanyaku kepada kakakku saat istirahat.

“Masih perawatan intensif,” jawab kakakku. “Kamu kapan berangkat?”

“Masih nunggu VVIP-nya lama bener,” jawabku.

“Kamu jadi kan pulang?”

“Jadi, insyaAllah!” jawabku. Temanku mengajakku lekas karena bang Ferdi sudah teriak-teriak di grup. “Udah dulu ya, dah disuruh balik ini.”

“Eh, jangan lupa…”

Teleponnya sudah keburu kututup.

Dari dulu sebenarnya bos VVIP seringkali drama. Katanya mau kunjungan, persiapannya heboh tiga hari tiga malam, sampai ada tim yang menyamar hingga briefing khususnya. Eh, ternyata tidak jadi datang. Seperti yang terjadi hari ini, tiap dua menit sekali aku menengok jam tangan. Jam kerjaku sudah dipenghujung, biasanya kugenapkan biar sekalian sholat maghrib.

Saat menjelang maghrib, si mata elang berseru, “Mereka datang!”

Aku yang bersiap menuju gudang balik arah ke posisi semula. Berdiri tegak sembari bersiap menyambut. Pikiranku yang kusut jadi blank, seketika lupa dengan hafalanku. Orang itu datang dengan pengawalan lengkap, sekilas seperti orang pawai. Kami menyambut hangat, memberi senyum terbaik dan melayani beliau sampai akhir. Peranku tidak banyak karena yang jago-jago sigap mendampingi si bos.

Satu jam lebih si bos berkunjung, lalu pergi dengan senyum santai diikuti kroco-kroconya. Aku kebablasan sholat maghrib. Tanpa babibu aku langsung cabut, tas berisi segala perlengkapan memang sudah kusiapkan sejak awal. Kusempatkan mampir dulu di mushollah basement sholat. Kata kakakku ibu saat ini belum sadar pasca perawatan oleh tim dokter.

Kami bercakap-cakap dengannya lewat pesan instan sembari menemani perjalanan. Keluarga dari mending ayahku tadi sempat datang, cuma ibu sedang tidur. Mereka memberikan sejumlah uang dan banyak buah. Aku sedikit lega mendengarnya. Keluarga ibuku baru datang besok, mereka sebelumnya sedang sibuk menyiapkan acara lamaran sepupuku.

Kakakku bilang, ibu sudah lama sakit tapi tidak pernah bilang. Takut membuat khawatir anak-anaknya. Bahkan saat kakakku menyadari sakit ibu mulai kronis, ibu meminta agar tidak memberitahuku. Beliau tak ingin aku yang sedang semangat-semangatnya bekerja jadi terbebani. Hampir saja aku menangis kalau saja tak ingat di sini tempat umum.

Percakapan sempat tak berlanjut saat kakakku bilang, kata dokter ibu akan lekas pulih. Aku sedikit teralihkan dengan grup kerjaan yang mendadak ramai dengan hasil kunjungan tadi. Bang Ferdi paling tidak suka jika pertanyaan yang dia ajukan di grup tak diacuhkan.

Di tengah kelimpunganku berjibaku dalam kelihaian jemariku mengetik, kakakku mengirim pesan bahwa ibu sudah bangun. Pesannya terlihat sekilas dari notifikasi pop up, hanya saja aku sedang konsentrasi penuh dengan report-report dadakan di grup.

“Telpon dong. Ibu pengen denger suara kamu.”

Notifikasinya menyembul lagi, aku ingin balas tapi grupku berdering lagi, menarik hilang pop up-nya. Bang Ferdi sedang investigasi mengapa beberapa barang display tidak terpajang dengan baik. Padahal si bos VVIP tidak mempermasalahkan, dia pergi sambil tersenyum. Aku terpaksa membalas dulu, perang urat sebentar karena seorang rekanku lempar kesalahan.

Setelah pergelutan di dunia maya yang seru akhirnya perang ini berakhir seri. Saat aku melihat pesan yang belum dibaca, aku baru sadar telah meninggalkan kakakku dalam ketidakpastian. Aku pun langsung menelpon, dan berdebar.

“Halo?” ucapku begitu tersambung

“Halo, Nu…” jawab kakakku di sana.

“Ibu mana?”

“Udah tidur, kelamaan nungguin kamu tadi.”

“Sorry, abis perang dingin di grup tadi. Nanti aku kabarin lagi deh kalau ibu dah bangun ya?”

“Masih bisa besok, lagian udah larut sekarang,” ujar kakakku. “Istirahat gih, besok kamu langsung ke sini kan?”

“Iya,” jawabku lemas. “Tolong ntar kasih alamat sama detail kamarnya ya.”

Telepon ditutup. Aku menarik nafas sembari meliril jam tangan. Sudah jam 1, sebaiknya aku tidur. Bukan hal mudah untuk tidur di tengah situasi hati yang kacau balau begini. Kerjaan menekan, kondisi terkini orang tua bikin khawatir. Sempurna sudah. Aku mencoba memejamkan mata sebentar, lelah yang kurasakan. Perlahan aku malah semakin masuk ke dalam dunia mimpi.

Gelap, lama-lama terang. Aku seperti sedang menginjakan kaki di sebuah taman yang dikelilingi pohon apel. Di ujung sana ada sosok yang tak asing. Itu ibu, sedang berdiri dekat sebuah kolam air mancur, melihat ke arahku seperti sedang menungguku. Aku menghampirinya. Ibu tersenyum kepadaku, membangkitkan rasa rinduku yang selama ini tertahan. Termasuk rasa bersalah yang menggelayut. Aku memeluk ibu sembari menangis.

“Maafin Ibnu, bu,” bisikku.

Mataku terbuka, terlebih saat guncangan mendera bahuku. Rupanya seorang petugas kereta membangunkanku. Aku sudah tiba di tempat tujuan. Sudah pagi. Aku buru-buru pergi, memberhentikan taksi putih menuju rumah sakit. Aku mencoba menghubungi kakakku untuk detail kamar rawat ibu tapi belum dijawab.

Dengan bekal bertanya ke resepsionis aku dapat informasinya. Lantai tiga kamar anggrek. Aku sedikit gelisah, apalagi menunggu lift yang seperti tidak turun-turun. Aku mempercepat langkah menuju ruang rawat ibu. Di lorong dekat sana aku melihat kakakku, sedang duduk.

“Ngapain di sini?” tanyaku.

Dia tak menjawab, tapi menoleh ke arahku. Raut wajahnya datar tapi sayu, seperti kebiasannya kalau sedang menahan sedih.

“Ibu mana?” tanyaku.

Dia tak menjawab, hanya menatap lurus ke arahku. Aku perlahan mengerti ini arahnya ke mana. Ponsel yang kugenggam jatuh. Rasanya dunia tempatku berpijak ikutan runtuh, masuk ke dalam jurang tak berujung.

Aku ingin menangis tapi gengsiku masih menahan karena di sini tempat umum. Sesak di dadaku makin menjadi. Campur aduk seperti saling dikuadratkan. Entahlah bagaimana menggambarkannya, setidaknya kepalaku tidak copot saking berkecamuknya isi hati dan pikiran.

Seharusnya pagi ini ibu terbangun dengan kondisi lebih baik. Dokternya cukup percaya diri saat mengatakannya. Namun, Tuhan punya kehendak lain. Tuhan lebih sayang ibu. Kakakku shock luar biasa. Ia pergi meninggalkan ruang rawat sembari menahan sesunggukan. Kakakku punya sedikit trauma, dulu ayah meninggal karena kecelakaan saat menjemputnya pulang ngaji naik sepeda. Kepergian ayah terlalu membekas sehingga ia mungkin tak sanggup juga melihat kepergian ibu. Apalagi ibu dipanggil saat ia sedang terlelap, mungkin saja ibu mencoba memanggilnya saat menahan sakit.

Aku memahami posisinya, kurangkul dia. Kakakku yang kini menjadi keluargaku satu-satunya. Tak lama sanak famili dari keluarga ibu datang, barulah aku dan seorang pamanku menemui dokter. Aku tak terlalu menyimak saat dokter menerangkan berbagai hal. Di kepalaku mendadak bermunculan kilas balik masa kecilku. Saat ibu memberi kejutan-kejutan manis seperti kembang api dan permen untuk menyenangkanku, atau saat ibu susah payah membelikan kendi kecil ke pasar pagi-pagi untuk keperluan prakaryaku.

Ibu memang orang baik. Wonder woman bagi keluarganya. Banyak yang ikut mengantarkan ibu hingga ke peristirahatan terakhirnya. Bahkan semesta pun turut menunjukan belasungkawanya. Berawan seperti mendung tapi tak kunjung turun hujan. Hanya angin sesekali berhembus, begitu sejuk, begitu teduh. Hingga acara pengebumiannya selesai dan orang-orang berangsur-angsur pergi, tinggal lah aku seorang yang terakhir di pintu gerbang pemakaman. Kutatap sekali lagi pusara baru itu sebelum melangkah pergi.

Apabila mata ibumu sudah tertutup maka hilanglah satu keberkahan di sisi Allah SWT

 

3 tanggapan untuk “Pulang Kampung

  1. Kisah yang turut serta menyertakan peran orang tua di dalamnya memang selalu menimbulkan haruu…
    Good job boss
    Paling tanda baca dan penulisan aja

    Suka

    1. pengembaraudara

      oke baik, terima kasih komentar dan masukannya 🙂

      Suka

  2. Kek kisah nyata yaa.. kondisi di tempat kerjanyaa

    Suka

Tinggalkan komentar